BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari kita tidak dapat lepas
dari interaksi sosial, oleh karena itu kita harus dapat menyikapi hal tersebut
dengan tindakan-tindakan positif. Manusia sebagai peserta didik sudah seharusnya
ditempatkan sebagai suatu pribadi yang utuh, yakni manusia sebagai kesatuan
sifat makhluk individu dan sosial yang memiliki tingkat IQ, EQ dan SQ yang
berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Serta sebagai makhluk
Tuhan yang harus menempatkan hidupnya di dunia sebagai persiapan kehidupan
akherat, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya.
Pendidikan yang berhubungan dengan tingkat IQ, EQ, dan SQ seseorang
adalah suatu upaya dalam membentuk suatu lingkungan untuk seseorang yang dapat
merangsang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya dan akan membawa
perubahan yang diinginkan ke arah yang lebih baik dalam kebiasaan dan sikapnya.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam
satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita,
sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan
orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan
yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau
Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan
dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan
se-fleksibel orang berenang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian IQ, EQ, dan SQ?
2.
Bagaimana hubungan IQ, EQ, dan SQ dalam PAI?
3.
Bagaimana aplikasi IQ, EQ, dan SQ dalam PAI?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian IQ, EQ, dan SQ?
2.
Untuk mengetahui hubungan IQ, EQ, dan SQ dalam PAI?
3.
Untuk mengetahui bagaimana aplikasi IQ, EQ, dan SQ dalam PAI?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian IQ, EQ, dan SQ
1.
Pengertian IQ
IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan
yang didapat dari hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan
sebuah pertanyaan dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang.
Banyak orang berpandangan bahwa IQ merupakan pokok dari
sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap menjadi tolak ukur
keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ hanyalah satu “kemampuan
dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada keterampilan standar dalam
melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif tetap. IQ (Intellegence
Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada kebendaan. Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20.
2.
Pengertian EQ
EQ (Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan
kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan.
Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada
kebendaan. Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan
Emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan
saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi
hidup.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk
“menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif.
Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya
berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi. Hubungan
antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional.
Antara satu dengan lainnya saling menentukan.
3.
Pengertian SQ
SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai
perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat
makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan
kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia
dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual
lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai
penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah,
bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia
mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti
berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang
dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. Dalam Islam, orang yang
cerdas adalah orang yang mampu menundukkan pandangan hawa nafsunya. Hal ini
merupakan Sabda Rasulullah saw, seorang pendidik yang luar biasa cerdasnya yang
diriwayatkan oleh Tarmidzi.
B.
Hubungan IQ, EQ, dan SQ
Menurut Stephen R. Covey, IQ adalah kecerdasan manusia yang
berhubungan dengan mentalitas, yaitu kecerdasan untuk menganalisis, berfikir,
menentukan kausalitas, berfikir abstak, bahasa, visualisasi, dan memahami
sesuatu. IQ adalah alat kita untuk melakukan sesuatu letaknya di otak bagian
korteks manusia. Kemampuan ini pada awalnya dipandang sebagai penentu
keberhasilan sesorang. Namun pada perkembangan terakhir IQ tidak lagi digunakan
sebagai acuan paling mendasar dalam menentukan keberhasilan manusia. Karena
membuat sempit paradigma tentang keberhasilan, dan juga pemusatan pada konsep
ini sebagai satu satunya penentu keberhasilan individu dirasa kurang memuaskan
karena banyak kegagalan yang dialami oleh individu yang ber IQ tinggi.
Ketidak puasan terhadap konsepsi IQ sebagai konsep pusat dari
kecerdasan seseorang telah melahirkan konsepsi yang memerlukan riset yang
panjang serta mendalam. Daniel Goleman mengeluarkan konsepsi EQ sebagai jawaban
atas ketidak puasan manusia jika dirinya hanya dipandang dalam struktur
mentalitas saja. Konsep EQ memberikan ruang terhadap dimensi lain dalam diri
manusia yang unik yaitu emosional. Disamping itu Goleman mempopulerkan pendapat
para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang
berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan
efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut dalam Danah Zohar
dan Ian Marshal.
Komponen utama dari kecerdasan sosial ini adalah kesadaran diri,
motivasi pribadi, pengaturan diri, empati dan keahlian sosial. Letak dari
kecerdasan emosional ini adalah pada sistem limbik. EQ lebih pada rasa, Jika
kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan
mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif,
karena IQ menentukan sukses hanya 20 persen dan EQ 80 persen.
Kecerdasan spiritual mampu mengoptimalkan kerja kecerdasan yang
lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi, mampu menyandarkan
jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati
akan muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberi sinyal untuk menurunkan
kerja simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah tenang karena aliran darah
telah teratur maka individu akan dapat berfikir secara optimal (IQ), sehingga
ia lebih tepat dalam mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati
dan potensi kamanusiaan tidak cukup hanya dengan IQ dan EQ, kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan yang sangat berperan dalam diri manusia sebagai
pembimbing kecerdasan lain. Karena itu sesuai dengan pendapat Covey diatas
bahwa “SQ merupakan kunci utama kesadaran dan dapat membimbing kecerdasan
lainnya”.
Dengan kata lain, SQ adalah kecerdasan yang berperan sebagai
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ
merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas
SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan
pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ
pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan
kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat
dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind
(Psikis) and Soul (Spiritual).
C.
Aplikasi IQ, EQ, dan SQ dalam PAI
Dalam kehidupan
sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang sebenarnya memiliki kemampuan
intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang
dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang memiliki kemampuan
intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan ataupun dalam
hubungan masyarakat. Dua keadaan tersebut tampaknya perlu dijadikan bahan
renungan tentang cara kita “membaca” kecerdasan. Hal ini menjadi penting karena
selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai
akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya adalah dalam mekanisme
pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya adalah
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering
dan recalling.
Jelas ini sangat
ironis karena pada dasarnya salah satu kelemahan pendidikan terletak pada aspek
afektif. Banyaknya kasus negatif dalam bidang afektif yang mewarnai dunia
pendidikan seperti pelecehan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap murid,
murid laki-laki terhadap murid perempuan, tawuran pelajar, penyontekan,
menurunnya rasa hormat murid terhadap guru, narkoba, dan lain sebagainya
merupakan deretan panjang pelanggaran dalam bidang afekif.
Kondisi yang demikian ini mengindikasikan bahwa pendidikan telah terjangkit penyakit klinis yang kronis. Oleh karena itu perlu ada upaya praktis dari seluruh stakeholders dengan merubah paradigma pendidikan yang intelektual sentris (kognitif) menuju paradigma pendidikan yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi intelektual (kognitif), dimensi emosional (afektif) dan juga dimensi spiritual. Keseimbangan ketiga dimensi tersebut diperlukan mengingat dalam mengarungi kehidupan, seseorang tidak hanya cukup dengan bekal cerdas secara intelektual, namun lemah dalam pengendalian emosi serta hampa dalam urusan spiritual. Hal ini dikarenakan dalam berhubungan dengan manusia, tidak hanya dibutuhkan orang yang cerdas secara IQ, tetapi juga dibutuhkan orang yang cerdas secara emosi. Selain itu, kesuksesan seseorang dalam kehidupan juga tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi IQ yang dimiliki, tetapi EQ juga sangat berperan dalam segala sendi kehidupan. IQ hanya menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80% sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk kecerdasan emosi.
Kondisi yang demikian ini mengindikasikan bahwa pendidikan telah terjangkit penyakit klinis yang kronis. Oleh karena itu perlu ada upaya praktis dari seluruh stakeholders dengan merubah paradigma pendidikan yang intelektual sentris (kognitif) menuju paradigma pendidikan yang mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi intelektual (kognitif), dimensi emosional (afektif) dan juga dimensi spiritual. Keseimbangan ketiga dimensi tersebut diperlukan mengingat dalam mengarungi kehidupan, seseorang tidak hanya cukup dengan bekal cerdas secara intelektual, namun lemah dalam pengendalian emosi serta hampa dalam urusan spiritual. Hal ini dikarenakan dalam berhubungan dengan manusia, tidak hanya dibutuhkan orang yang cerdas secara IQ, tetapi juga dibutuhkan orang yang cerdas secara emosi. Selain itu, kesuksesan seseorang dalam kehidupan juga tidak hanya ditentukan oleh seberapa tinggi IQ yang dimiliki, tetapi EQ juga sangat berperan dalam segala sendi kehidupan. IQ hanya menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sedangkan 80% sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, termasuk kecerdasan emosi.
Contoh sederhana tentang IQ, EQ, dan SQ adalah
sebagai berikut: seorang siswa yang belajar dengan niat supaya menjadi pintar,
adalah motifasi intelektual yang bersumber dari IQ. Namun jika siswa itu
kemudian melanjutkan: setelah menjadi pintar, ia akan menggunakan kepintarannya
untuk menolong sesama manusia, ini adalah motifasi emosional yang bersumber
dari EQ. Sedangkan jika masih melanjutkan: karena belajar dan bermanfaat bagi
manusia adalah wujud pengabdiannya kepada Alloh, maka inilah motifasi spiritual
yang bersumber dari SQ. Inilah esensi tertinggi dalam hidup. Bahwa semua
kebaikan yang kita lakukan harus di niatkan hanya untuk mencari ridho Alloh,
supaya amalan-amalan itu tidak hanya bermanfaat di dunia kita namun juga di
akhirat kita. jika IQ dan EQ hanya menjawab pertanyaan tentang apa yang di
fikirkan dan apa yang dirasakan, maka SQ ini menjawab pertanyaan yang jauh
lebih dalam lagi, yaitu “siapakah aku? Apa tujuan hidupku?”
Konteks permasalahan di sini adalah bagaimana mengupayakan guru PAI
menjadi kreatif di dalam mengajarkan materi. Paparan serta kiat-kiat teknis
mengenai IQ, EQ dan SQ, sebagaimana dipaparkan di muka, kiranya dapat menjadi
alternatif pendekatan dan metode pengajaran yang mampu menyentuh seluruh ranah;
kognitif, afektif dan psikomotor. Dengan kata-lain, ini merupakan sebuah upaya
untuk menjadikan Pendidikan Agama Islam menjadi sebuah kesadaran yang utuh,
lebih bermakna dalam realitas kehidupan siswa, dan bukan sekedar doktrin yang
membelenggu.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
IQ adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil pengerjaan
soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu
dikaitkan dengan hal akademik seseorang. EQ adalah kemampuan untuk mengelola
emosi atau perasaan. SQ adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai
perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat
makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini.
2.
IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang sebaiknya mampu secara
proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh
keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang
merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).
3.
IQ, EQ dan SQ dalam PAI dapat diaplikasikan oleh pengajar atau guru
agar menjadi kreatif dalam mengajarkan materi dengan menyinggung ranah konitif,
afektif, dan psikomotor.
B.
Saran dan Kritik
Demikian makalah yang kami buat. Apabila ada isi dari makalah yang
kurang baik dan benar, pemakalah mohon saran dan kritiknya dari pembaca demi
kesempurnan makalah kami. Karena pemakalah adalah manusia biasa yang tak
sempurna dan banyak salah.
DAFTAR
PUSTAKA